Makassar, Visi Mendunia, dan Diplomasi Kota

Disclaimer
Artikel ini telah dimuat pada Kolom Opini, Harian Tribun Timur Makassar, Edisi Senin, 22 Februari 2021

Artikel ini merupakan pandangan pribadi penulis, tidak mewakili pandangan KADKI secara kelembagaan.

Tahun 2019, saya meneliti tentang Diplomasi Kota di Makassar dan Jayapura, yang dimuat pada prosiding Konvensi Nasional ke-10 Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII). Beberapa temuan dan catatan penelitian tersebut, khususnya dalam konteks Kota Makassar, mungkin menarik untuk bahan diskusi. Terutama setelah Walikota Makassar terpilih, Danny Pomanto, menyebutkan bahwa salah satu prioritasnya pada periode kedua ini adalah menyusun “Perda Omnibus Makassar Kota Dunia” (Tribun Timur, 1/2/2021, hal. 1).

Pada masa jabatan periode pertama (2014-2019), visi Makassar Kota Dunia telah ditawarkan oleh Danny Pomanto. Nampaknya, visi itu kurang menarik minat para politisi di DPRD Kota Makassar. Atau bisa jadi, pihak eksekutif sendiri tidak serius mengusungnya. Terbukti dengan gagalnya pembahasan Peraturan Daerah (Perda) Makassar Kota Dunia. DPRD mengembalikan Rancangan Perda ke Pemkot dengan permintaan perbaikan, namun tidak kunjung dilakukan.

Visi yang sama kembali diusung pada periode kedua. Padahal publik belum memperoleh “laporan pertanggungjawaban” bagaimana visi tersebut dikelola. Benarkah menjadi visi untuk Kota Makassar, ataukah hanya jualan demi kontestasi politik? Bagaimana seharusnya masyarakat dan pemerintah Kota Makassar menerjemahkan visi ini?

Diplomasi Kota

Dalam kajian hubungan internasional (HI), visi kota dunia dekat dengan konsep diplomasi kota (city diplomacy), yaitu suatu varian dalam diplomasi yang fokus pada peranan kota dan pemerintah daerah sebagai “sub-state actors”. Di Amerika Latin, pendekatan ini dikenal sebagai konsep paradiplomacy.
Sejak kelahirannya sebagai disiplin ilmu mandiri pada 1919, studi HI fokus kepada interaksi aktor negara dalam upaya menciptakan perdamaian dan kesejahteraan. Entitas negara tampak semakin “lemah” menampilkan dirinya sebagai unitary actors. Definisi kepentingan nasional, misalnya, diinterpretasi berbeda oleh entitas-entitas di dalam negara.

Otoritas kota dan pemerintah daerah seringkali merasa para elit di pusat yang terlibat dalam diplomasi antarnegara cenderung memperjuangkan kepentingan nasional yang bias. Apakah kepentingan nasional tersebut benar merupakan kepentingan seluruh rakyat? Pada banyak kasus, kepentingan nasional terdistorsi oleh kepentingan invisible hand dalam politik, seperti para pebisnis, industrialis, atau para oligarkh.

Salah satu contoh kasus adalah Deklarasi Paris 2015 untuk mengurangi emisi karbon global. Persetujuan hampir gagal disepakati oleh para kepala negara. Beberapa walikota dunia kemudian membuat deklarasi tandingan, yang memaksa para kepala negara menyetujui Deklarasi Paris.
Para walikota mengatakan, kerusakan lingkungan akan berdampak langsung kepada warga yang setiap hari kami temui. Sementara para kepala negara lebih mementingkan kepentingan para industrialis yang khawatir bisnisnya terganggu.

Amerika Serikat, dibawah Presiden Donald Trump, menarik diri dari Deklarasi Paris pada 4 November 2019. Hal ini memicu kemarahan para walikota di Amerika Serikat, sehingga 466 walikota di negara ini membuat pernyataan menolak langkah Trump. Mereka berkomitmen akan tetap menjalankan rencana aksi Deklarasi Paris. Amerika akhirnya kembali bergabung pada 19 Februari 2021 kemarin.

Visi Mendunia

Visi Kota Dunia seharusnya tidak bersifat inward looking. Visi ini harusnya sensitif terhadap isu-isu global yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari entitas kota (pemerintah daerah, masyarakat, sektor swasta, dan lain-lain).

Di Kota Makassar, pemerintah nampak sibuk mengimplementasi kebijakan bersifat (mohon maaf) artifisial: membuat berbagai macam fasilitas berlabel smart (ingat pete-pete, halte, kartu-kartu), atau memperindah tampilan untuk kepentingan foto-foto sehingga indah di sosial media.

Sementara itu, berbagai isu global yang berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat kota dan daerah di masa depan, cenderung ditangani secara individual dan parsial. Misalnya, isu tentang Sustainable Development Goals (SDGs) yang membutuhkan partisipasi inklusif dari seluruh elemen. Pemerintah Kota seharusnya mengambil peran strategis dan terintegrasi disini.

Setidaknya terdapat empat catatan yang menurut saya penting dijadikan perhatian dalam upaya mewujudkan visi Makassar Kota Dunia, terutama berdasarkan pendekatan Diplomasi Kota.

Pertama, kerangka regulasi. Pemerintah perlu secepatnya merampungkan Perda Kota Dunia yang disusun secara partisipatif dan inklusif. Libatkan elemen penta helix (akademisi, bisnis, pemerintah, komunitas, dan media) dalam prosesnya.

Kedua, dukungan kelembagaan. Perlu ada unit kerja sekretariat daerah yang khusus menangani kerja sama luar negeri. Perwali Nomor 79 Tahun 2016 tentang SOTK Sekretariat Daerah menempatkan urusan kerja sama luar negeri “disisip-sisipkan” pada tugas dan fungsi Sub Bagian Kerja Sama antar Daerah/Lembaga, di bawah Bagian Perekonomian dan Kerja Sama. Hal ini perlu direvisi, minimal ada Sub Bagian Kerja Sama Luar Negeri sendiri. Apalagi telah ada Permendagri Nomor 25 Tahun 2020 yang mengatur kerja sama luar negeri oleh pemerintah daerah dengan pemerintah daerah di luar negeri, dan dengan lembaga di luar negeri.

Ketiga, atensi lebih terhadap event berskala internasional. Di Makassar banyak berlangsung kegiatan internasional yang kurang diperhatikan oleh Pemerintah Kota. Misalnya, konferensi internasional oleh berbagai perguruan tinggi di kota ini. Pada tahun 2019, Unhas menjadi tuan rumah bagi 25 konferensi internasional. Belum terhitung dengan kampus-kampus lain atau lembaga lain.

Keempat, sensitif terhadap isu global. Menjadi bagian dari masyarakat internasional bisa dengan cara mempromosikan khasanah lokal ke tingkat global, namun membutuhkan sumber daya yang relatif besar. Cara lain yang bisa dielaborasi adalah dengan mengambil bagian dalam diskursus isu-isu global, misalnya masalah lingkungan hidup, perlindungan terhadap hak-hak minoritas, atau pembangunan berkelanjutan.(*)

Penulis: Ishaq Rahman, Dosen HI Unhas, penggiat Komunitas Akademik Diplomasi Kota Indonesia.

 

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by TranslatePress »