Covid-19 diumumkan sebagai pandemi global pada 11 Maret 2021. Sejak saat itu, otoritas nasional di seluruh dunia mengambil langkah reaktif untuk memutus rantai sebaran Sars-Cov-2, nama virus pembawa penyakit Covid-19. Beberapa negara segera melakukan adaptasi, sementara ada juga yang mencoba taktik denial (penyangkalan). Akibatnya, sebaran virus semakin cepat, dengan dampak sosial, ekonomi, bahkan politik. Selain dampak kesehatan, tentu saja. Sebagai wabah yang menyerang dan menyasar manusia, Covid-19 bergerak dan menyebar mengikuti pergerakan manusia. Maka, intervensi untuk menghentikan sebaran virus adalah dengan membatasi mobilitas manusia. Sayangnya, beberapa negara (termasuk Indonesia) cenderung terlambat menghentikan sebaran, akibat keengganan otoritas nasional membatasi gerakan manusia secara total. Di setiap negara, masyarakatnya merupakan warga dari entitas lokal bernama “daerah” (dengan variasi terminologi yang beragam: kabupaten, kota, municipality, district, county, dan lain-lain). Ada unit kecil dalam pemerintahan yang bertanggung jawab langsung terhadap kehidupan masyarakat, dengan kewenangan operasional yang terkoneksi tanpa perantara ke warga. Unit ini adalah pemerintah daerah (local government). Sehingga, masalah aktual terkait pandemi Covid-19 sejatinya merupakan masalah pemerintah daerah. Otoritas di daerah (terutama pemerintah kabupaten dan kota) seharusnya menjadi pemain kunci dengan prinsip desentralisasi. Dalam konteks pandemi, kewenangan luas seharusnya diberikan kepada pemerintah daerah, untuk terciptanya daya tahan (resiliensi) kota. Konsepsi Resiliensi Secara konseptual, daya tahan atau resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk bangkit kembali dari tekanan dan krisis (Walace and Walace, 2008). Dalam kaitan dengan tekanan atau krisis ini, definisi resiliensi dapat dibagi ke dalam tiga tipe (Martin dan Sunley, 2014), yaitu: upaya bangkit dari tekanan, kemampuan menyerap tekanan, dan kemampuan beradaptasi dalam rangka antisipasi. Pandemi Covid-19 mempunyai karakter berbeda dari tekanan atau krisis akibat bencana alam dan non-alam lainnya. Pertama, pandemi tidak dapat diprediksi, bahkan diperkirakan. Mitigasi pandemi tidak pernah menjadi pilihan pada proses perencanaan yang normal. Sehingga, peristiwa pandemi Covid-19 yang melanda dunia menyebabkan berbagai otoritas di dunia, bahkan otoritas kesehatan global (WHO) berada pada situasi coba-coba terhadap berbagai kebijakan penanggulangan. Kedua, pandemi bergerak tanpa dapat dideteksi dengan metode konvensional. Pelacakan terhadap orang-orang terpapar hanya dapat dipastikan melalui uji laboratorium. Meskipun telah bermunculan berbagai inovasi untuk deteksi cepat (misalnya inovasi Genose dari Universitas Gadjah Mada), namun untuk keperluan medical treatment tetap dibutuhkan adanya uji laboratorium. Keterbatasan teknologi pencegahan ini menjadi tantangan bagi dunia medis. Ketiga, dampak sosial ekonomi sama (bahkan lebih) terasanya dengan dampak kesehatan. Pandemi Covid-19 menuntut umat manusia mengubah cara hidup dan mengadopsi kenormalan baru (new normal). Terjadi berbagai pembatasan siginifikan dalam interaksi untuk memutus rantai penularan. Kondisi ini menyebabkan sektor ekonomi terdampak langsung, yang menyebabkan terjadinya penurunan daya beli. Bahkan, pada tingkat yang paling mengkhawatirkan adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat mandegnya sektor industri. Keempat, pandemi Covid-19 mengharuskan kerja sama dan kolaborasi multipihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Kolaborasi juga terjadi melintas batas-batas struktural dan geografis, melampaui dimensi-dimensi nasionalisme. Kota dan Mitigasi Pandemi Wilayah pemukiman penduduk merupakan garis terdepan dalam upaya memutus pandemi Covid-19. Tantangan ini memiliki dua dimensi sekaligus, yaitu dimensi kesehatan dan ekonomi. Pada sisi kesehatan, masyarakat perkotaan menghadapi ancaman untuk terpapar akibat interaksi, sehingga perlu melakukan mitigasi penularan. Sementara pada aspek ekonomi, alternatif yang tersedia pada setahun pertama upaya mitigasi adalah menghindari kontak dan menjaga jarak sosial, yang beresiko menurunkan produktivitas dan pendapatan. Carl Henegan dan David Howard (2020) dari Global Centre on HealthCare and Urbanisation, Kellogg College, University of Oxford, menuliskan bahwa peranan kota dalam masa pandemi dapat menghentikan penularan, tetapi juga dapat membuatnya semakin parah. Untuk itu, diperlukan perubahan dalam mind-set terhadap kota secara menyeluruh, mulai dari gaya hidup masyarakat hingga desain perkotaan. Dengan mencermati karakter virus Sars-Cov-2 yang menyebabkan gangguan infeksi pernapasan, penyebarannya melalui udara, melalui permukaan benda-benda, dan melalui kontak erat. Maka faktor ini harus menjadi pertimbangan baru interaksi masyarakat perkotaan dalam upaya mitigasi. Peristiwa pandemi Covid-19 juga menyadarkan bahwa masyarakat perkotaan perlu mengubah pemahaman lama dalam menciptakan lingkungan kehidupan, dengan mengedepankan pertimbangan hidup sehat dalam segala aspek, untuk menggantikan pertimbangan efektivitas dan efisiensi, apalagi estetika. Tidak semua kota dan kawasan pemukiman memiliki daya tahan yang sama terhadap pandemi. Kota-kota dengan ekonomi maju selalu saja menampilkan wajah yang paradoks: terdapat kawasan sejahtera dan kaya yang memiliki akses lebih besar terhadap fasilitas kesehatan, informasi hidup sehat, dan pilihan-pilihan untuk hidup sehat. Namun juga terdapat kawasan pinggiran dan miskin perkotaan yang tidak terjangkau akses kesehatan yang memadai, pengetahuan masyarakat tentang pola hidup sehat yang terdistorsi, dan pilihan kebutuhan hidup dasar yang mengalahkan pertimbangan kesehatan. Kerja Sama Global Antarkota Situasi demikian menyebabkan daya tahan kota ditentukan oleh berbagai faktor. Mengingat situasi ini adalah area pertarungan baru sama sekali bagi kebanyakan kota-kota di dunia, maka tuntutan untuk kerja sama dan kolaborasi adalah keharusan. Untuk itu, ruang dan kapasitas perlu disiapkan bagi kota-kota di seluruh dunia untuk terlibat. Walikota Barcelona, Amsterdam, Milan dan Paris menerbitkan surat bersama pada El Pais, dimana mereka menyatakan bahwa: “kota-kota mempunyai pengalaman panjang dalam bekerja sama. Hubungan ini diitensifkan dengan adanya krisis kesehatan. Dari pengalaman, kami mengetahui bahwa ketika menghadapi krisis, maka hal mendasar yang harus kita ciptakan adalah bersatu, bersolidaritas, dan bekerja sama.” (BBC, 27 April 2020). Secara aktual, realitas yang terjadi selama masa pandemi Covid-19, entitas negara (yang direpresentasikan oleh pemerintah pusat dari setiap negara), memainkan peranan sentral dalam berbagai upaya global. Padahal, ketika berbagai gagasan akan diimplementasikan, peranan dan keterlibatan pemerintah daerah dan entitas kota adalah kritikal. Pameo yang berkembang dalam kerangka ini adalah: state talks, city acts. Negara-negara saling bernegosiasi dan berdiskusi, sementara implementasinya akan menjadi tanggung jawab pemerintah kota. Pada negara dengan derajat pluralitas yang tinggi seperti Indonesia, pemerintah pusat seharusnya melibatkan pemerintah daerah bukan saja pada tataran implementasi, namun juga sejak dalam pembahasan. Di Indonesia, kita menemukan gesekan seperti ini. Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Salim Landjar, sampai-sampai secara terbuka menyebut Menteri Sosial Republik Indonesia sebagai “menteri goblog”, akibat perbedaan persepsi dalam penanganan dampak pandemi Covid-19. Dalam situasi pandemi, daya tahan kota ditentukan oleh seberapa jauh otoritas lokal dilibatkan dalam proses pembicaraan (talks), termasuk di tingkat global. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan platform kerja sama yang kini tersedia sebagai pilihan meskipun masih terbatas.(*)